Jakarta, CNBC Indonesia -Bank Indonesia (BI) diperkirakan akan tetap mempertahankan suku bunga acuan di level 5,75% pada bulan ini untuk menjaga nilai tukar di tengah meningkatnya ketidakpastian global.
BI akan menggelar Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada pada Rabu dan Kamis pekan ini (23-24 Agustus 2023).
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memproyeksi bank sentral RI akan menahan suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR). Dari 13 institusi yang terlibat dalam pembentukan konsensus, semuanya memperkirakan BI akan menahan suku bunga di level 5,75%.
Suku bunga Deposit Facility kini berada di posisi 5,00%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 6,50%.
https://datawrapper.dwcdn.net/D0w8P/2/
Suku bunga sebesar 5,75% sudah berlaku sejak Januari tahun ini. BI mengerek suku bunga sebesar 225 bps dari 3,50% pada Juli 2022 menjadi 5,75% pada Januari tahun ini.
Suku bunga kemudian dipertahankan pada level tersebut dalam enam pertemuan terakhir.
Kubu MH Thamrin diperkirakan masih akan menahan suku bunga meskipun inflasi jauh melandai. BI belum bisa memangkas suku bunga karena masih besarnya tekanan eksternal, terutama dari Amerika Serikat (AS).
Pelaku pasar keuangan global kini memperkirakan ada potensi bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed) mengerek suku bunga pada pertemuan September mendatang.
Potensi kenaikan tersebut tercermin dalam risalah rapat Federal Open Market Committee (FOMC) yang keluar pekan lalu serta merangkaknya inflasi AS.
Dalam risalah tersebut The Fed menegaskan kembali pentingnya memerangi inflasi. Pernyataan ini secara implisit menegaskan jika The Fed tak ragu menaikkan suku bunga demi menjaga inflasi.
Inflasi AS merangkak ke 3,2 % (year on year/yoy) pada Juli tahun ini, dari 3,0% (yoy) pada Juni.
Survei yang dilakukan CMEFedWatch Tool menunjukkan jika 88,5% pasar bertaruh Teh Fed akan mempertahankan suku bunga sementara 11,5% memperkirakan adanya kenaikan pada September mendatang.
Ekspektasi kenaikan suku bunga AS membuat dolar AS melambung dan imbal hasil (yield) surat utang pemerintah AS terbang.
https://datawrapper.dwcdn.net/7NtwS/2/
Indeks dolar terbang ke level tertinggi dalam dua bulan ke 103,5 pada Kamis pekan lalu (17/8/2023).
Sementara itu, imbal hasil surat utang pemerintah AS tenor 10 tahun menembus 4,34% atau bergerak di level tertingginya dalam 16 tahun terakhir.
Penguatan dolar AS menandai mata uang Greenback tengah dicari sementara mata uang lain dibuang, seperti rupiah. Kondisi ini membuat nilai tukar rupiah terpuruk.
Mata uang Garuda sudah ambruk 1,60% sepanjang Agustus ini. Pelemahan jauh lebih dalam dibandingkan Juli yang tercatat 0,56%.
https://datawrapper.dwcdn.net/r7bmi/2/
Dalam RDG bulan lalu, Gubernur BI Perry Warjiyo menjelaskan nilai tukar kini menjadi fokus BI saat ini setelah inflasi tidak lagi menjadi kekhawatiran. Artinya, BI belum memiliki ruang untuk memangkas suku bunga selama rupiah dalam tekanan hebat seperti saat ini.
Padahal, inflasi ataupun prospek ekonomi dalam negeri menopang BI untuk melonggarkan kebijakan.
https://datawrapper.dwcdn.net/qxMD1/1/
Inflasi Indonesia melandai dengan cepat dari 5,95% (year on year/yoy) pada September 2022 menjadi 3,08% (yoy) pada Juli 2023. Inflasi inti juga sudah melandai dari 3,36% (yoy) pada Desember 2022 menjadi 2,43% (yoy) pada Juli 2023.
Padahal, BI sebelumnya memproyeksi inflasi baru akan bergerak di angka 3% pada September 2023.
Ekonomi Indonesia di luar dugaan juga mampu tumbuh 5,17% (yoy) pada kuartal II-2023. Ekonomi yang masih kencang ini membuktikan permintaan dalam negeri sudah pulih setelah diterjang pandemi.
Kendati demikian, ada kekhawatiran baru bagi BI yakni defisit transaksi berjalan dan Neraca Pembayaran Indonesia (NPI). Transaksi berjalan dan NPI sama-sama berbalik arah menjadi defisit pada kuartal II-2023 dari surplus pada kuartal sebelumnya.
Defisit disebabkan oleh melemahnya ekspor serta besarnya capital outflow.
Transaksi berjalan Indonesia membukukan defisit sebesarUS$1,9 miliar atau 0,5% dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada kuartal II-2023. Defisit ini adalah yang pertama sejak kuartal II-2021
NPI mencatat defisit sebesar US$ 7,37 miliar pada kuartal II-2023. Defisit ini adalah yang pertama sejak kuartal III-2022. Defisit pada April-Juni 2023 juga berbanding terbalik dengan surplus sebesar US$ 6,52 miliar pada Januari-Maret 2022.
Defisit pada transaksi berjalan menjadi risiko baru bagi rupiah karena menandai melemahnya fundamental ekonomi, terutama dari sisi ekspor dan pasokan dolar.
Ekspektasi kenaikan suku bunga acuan serta masih besarnya tren kenaikan suku bunga global juga membuat BI dalam persimpangan untuk menentukan suku bunga acuan ke depan.
Seperti diketahui, sejumlah bank sentral justru kini semakin mengetatkan kebijakan moneternya untuk menjaga nilai tukar atau menekan inflasi. Di antaranya adalah bank sentral Argentina, bank sentral Eropa, dan bank sentral Turki.
Bank sentral Jepang (BoJ) juga mengetatkan kebijakan moneternya meski baru tahap melonggarkan yield curve control dan belum pada tahap menaikkan suku bunga.
Sumber: https://www.cnbcindonesia.com/research/20230822135740-128-465110/bi-semakin-dilema-bulan-ini-bertahan-atau-kerek-suku-bunga
Posted in Polling